Dunia ekonomi sepertinya harus mengubah susunan anggota BRIC menjadi BRIIC, dengan memasukkan satu negara baru di dalamnya.
Dalam
lima tahun terakhir, muncul empat kekuatan ekonomi baru yang lazim
disingkat dengan kata BRIC, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India dan
China. Namun harapan terhadap sumbangsih dari keempat negara itu kian
memudar dalam satu tahun terakhir akibat isu perlambatan ekonomi. BRIC
tadinya diperkirakan mampu memotori pertumbuhan ekonomi dunia
di tengah penurunan gairah bisnis di negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat dan Jepang. namun
sayangnya, mereka juga mengalami
masalah serupa akibat penurunan kinerja ekspor maupun masalah fiskal dan
moneter.
Kini harapan besar
digantungkan pada negara berkembang yang mampu bertahan menghadapi
gejolak ekonomi global. adalah Indonesia yang sejauh ini mampu
mempertahankan pertumbuhan ekonominya saat negara-negara lain justru
terperosok ke dalam krisis. Indonesia membuktikan diri sebagai negara
dengan kinerja ekonomi impresif berkat kenaikan jumlah warga golongan
menengah dan konsumsi domestik yang solid. Investor dan pengamat ekonomi
bahkan sudah menganggap negara ini ideal untuk dijadikan lokasi
penanaman modal.
Ya, sektor konsumsi
dalam negeri memang menjadi senjata utama Indonesia untuk mempercepat
laju ekonomi. Daya beli masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu
sehingga banyak perusahaan internasional memasukkan wilayah nusantara
dalam agenda ekspansinya. "Konsumen telah menambah nilai ekonomi karena
mereka sekarang mampu membeli produk rumah tangga, seperti sabun dan
deterjen, dengan harga mahal," puji Bharat Joshi, Asisten Manajer
Investasi perusahaan Aberdeen, yang mengelola dana investasi di
Indonesia sekitar $500 juta. Joshi menambahkan bahwa kinerja pendapatan
emiten terkerek naik oleh membaiknya upah atau gaji masyarakat.
Sejak
dihantam krisis di era 1990-an, perekonomian negara di Asia Tenggara
ini terus melaju hingga sekarang. Indikasi itu tampak jelas jika mengacu
pada performa bursa sahamnya,
yang konsisten naik dari tahun ke tahun. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) bahkan terus menguntit kinerja indeks S&P 500 Amerika Serikat
dalam dua tahun belakangan. Kenaikan IHSG sebanyak 19% hanya berbeda
tipis dengan perolehan S&P dalam periode yang sama, yaitu 20%.
Rahasia
di balik pertumbuhan Indonesia adalah perluasan daerah ekonomi di dalam
negeri. Kalau negara ini hanya bertumpu pada kinerja ekspor, nasibnya
mungkin tidak akan berbeda dengan Jepang atau Australia, yang ikut
terseret oleh krisis ekonomi di Amerika dan Eropa. Pertambahan jumlah
golongan kelas menengah berdampak bagus karena hasil produksi barang dan
jasa bisa terserap dengan baik dalam skala domestik. Tingkat
kesejahteraan masyarakat relatif membaik karena titik-titik aktivitas
ekonomi tidak hanya terpusat di kota-kota besar seperti dulu, namun
makin merata ke berbagai penjuru pulau. Artinya, perputaran uang tidak
lagi di area yang sama seiring gairah ekspansi bisnis dan usaha kecil.
Kelihaian pemerintah pusat dalam menangani inflasi
juga patut diapresiasi. Otoritas cukup fasih menyeimbangkan stabilitas
harga meski laju pertumbuhan domestik tahunan berkisar di level 6% dalam
dua tahun terakhir.
Salah satu
lembaga penasihat bisnis dunia, McKinsey & Co., memprediksi bahwa
Indonesia akan jadi negara perekonomian terbesar ke-7 dunia di tahun
2030 (sekarang di peringkat 16). Predikat itu akan dibarengi dengan
kenaikan jumlah warga kelas menengah sebanyak 90 juta orang atau dua
kali lipat dibanding jumlah saat ini yang baru sebesar 45 juta orang.
Secara
sektoral, lini yang paling berperan dalam kemajuan pasar modal
Indonesia adalah komoditas dan sumber daya. Sebagian besar perusahaan
publik yang terdaftar di bursa efek memiliki bisnis inti di kedua sektor
tersebut. Selain terkenal sebagai produsen batubara terbesar sejagad,
negara ini juga merupakan penghasil minyak kelapa sawit yang paling
berpengaruh. Oleh karena itu, pasar saham sangat diuntungkan oleh
pertumbuhan bisnis dan industri di negara-negara importir. Tingkat
pendapatan emiten dipastikan positif selama wilayah mitra dagang giat
membangun infrastruktur dan membutuhkan bahan baku yang hanya ada di indonesia.
Sisi buruknya tentu juga tidak kecil karena ketergantungan pada sektor
komoditas bisa menyebabkan penurunan jumlah pemasukan saat kondisi
makroekonomi sedang lesu. Situasi seperti inilah yang tengah dihadapi
Australia sekarang pasca booming sektor komoditi satu-dua tahun lalu.
Adapun
sektor yang dianggap masih mampu meraup laba secara konsisten adalah
perbankan dan produk konsumen. Sementara perusahaan otomotif seperti
Astra diperkirakan kembali diuntungkan oleh lonjakan jumlah warga
golongan mampu. Demikian pula dengan Unilever, yang varian produknya
menembus berbagai lapisan konsumen. Bagi investor asing yang ingin
mengakses pasar modal Indonesia dengan lebih mudah, bisa menggunakan
produk ETF atau Exchange Traded Funds. Dua ETF utama yang ditraksaksikan
adalah Market Vectors Indonesia Index ETF (IDX) dan iShares MSCI
Indonesia Investable Market Index Fund (EIDO). Return-nya cukup bagus
meski tidak seapik imbal hasil indeks saham gabungan sepanjang tahun
ini.
Walaupun prospek ekonomi
Indonesia sangat cerah, bukan berarti tidak ada tantangan yang harus
dihadapi. Pemodal asing mengeluhkan kurangnya komitmen pemerintah
terhadap reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Sementara
perusahaan publik juga belum memperlihatkan good corporate governance
sebagaimana sudah diimplementasikan dengan baik di negara-negara barat.
Introspeksi pemerintah dan pelaku bisnis merupakan suatu hal yang wajib
supaya arus modal masuk dapat makin deras di tengah krisis keuangan
global.
sumber : http://m.monexnews.com
No comments:
Post a Comment